Gereja sebagai Umat Allah dan Gereja sebagai Persekutuan yang Terbuka

Arti dan makna Gereja

 Kata “Gereja” berasal dari kata “igreja” (bahasa portugis) dibawa oleh para misionaris Portugis ke Indonesia. Kata tersebut adalah ejaan Portugis untuk kata Latin “ecclesia”. Ternyata kata tersebut memungut dari bahasa Yunani “ekklèsia” yang berarti “kumpulan”, atau “pertemuan”, “rapat”. Namun Gereja atau “ekklèsia” bukan sembarang kumpulan, melainkan kelompok orang yang sangat khusus. Kata Yunani “ekklèsia” berasal dari kata yang berarti “ memanggil” (ex=keluar; klesia dari kata kaleo=memanggil). Jadi artinya adalah kumpulan orang yang dipanggil keluar (dari dunia ini). Gereja dalah umat yang dipanggil Tuhan. Arti Gereja bagi umat Kristen adalah persekutuan orang yang beriman dalam Kristus, jadi pertama-tama bukan berarti suatu gedung. Sepanjang sejarah Gereja itu sendiri, dari zaman ke jaman, Gereja “diartikan” dan dihayati secara kaya, dengan aspek dan penekanan tertentu sesuai dengan zaman tertentu. Ia begitu kaya, sehingga ia dapat muncul dan memberi arti (makna) pada posisi secara tepat di segala waktu dan tempat. Paham-paham Gereja yang mucul di antaranya adalah Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus, Bait Allah, Misteri dan Sakramen, Persekutuan para Kudus, “Communio”, dan Umat Allah.

Pada abad ini, lebih dari sebelum-sebelumnya, Gereja sungguh menyadari kehadiran dan peranannya untuk dunia dewasa ini. Gereja didirikan oleh Yesus Kristus untuk menyelamatkan dunia. Gereja itu sendiri terbentuk 50 hari setelah kebangkitan Yesus Kristus pada hari Pentakosta, yaitu ketika Roh Kudus yang dijanjikan Allah diberikan kepada semua yang percaya pada Yesus Kristus (turunnya Roh Kudus atas para rasul). Misi Gereja dewasa ini adalah sesuai dengan rencana Allah sejak keabadian, yang sekrang mulai sedikit demi sedikit tersingkap dan mulai memantapkan karya penyelamatannya di tengah masyarakat luas. Pandangan baru yang muncul bersama Konsili Vatikan II ialah pandangan Gereja sebagai Umat Allah dan Sakramen Keselamatan. Eklesiologi prakonsili Vatikan II yang lebih berciri hierarkis piramidal bergeser ke arah Gereja Umat Allah, di mana semua anggota Gereja terlibat aktif melanjutkan misi dan karya Yesus.

Pandangan Gereja sebagai umat Allah membawa gagasan baru, antara lain:
  • Memperlihatkan sifat historis Gereja yang hidup “inter tempora”, yakni Gereja dilihat menurut perkembangannya dalam sejarah keselamatan; hal ini berarti menurut perkembangan di bawah dorongan Roh Kudus, segi organisatoris Gereja tidak terlalu ditekankan lagi, tetapi sebagai gantiya ditekankan segi kharismatisnya. Gereja berkembang “dari bawah”, dari kalangan umat sendiri.
  • Menempatkan hierarki dalam keseluruhan Gereja sebagai fungsi, sehingga sifat pengabdian hierarki menjadi lebih kentara. Hierarki jelas mempunyai fungsi pelayanan. Hierarki tidak ditempatkan di atas umat, tetapi di dalam umat.
  • Memungkinkan pluriformitas (mempunyai bentuk yang banyak) dalam hidup Gereja, termasuk pluriformitas dalam corak hidup, ciri-ciri dan sifat pelayanan dalam Gereja.

A.        Gereja Sebagai Umat Allah
1.         Arti dan Makna Gereja sebagai Umat Allah
Istilah Umat Allah sebenarnya merupakan istilah yang sudah sangat tua. Istilah itu sudah dipakai sejak dalam Perjanjian Lama (terdapat dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, misalnya dalam Kel. 6: 6; 33: 13; Yeh. 36: 28; Ul. 7: 6, 26: 15). Istilah tersebut kemudian dihidupkan lagi oleh Konsili Vatikan II sebagai paham yang baru. Paham Gereja sebagai umat Allah dianggap sebagai paham yang cocok atau relevan dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Paham ini dinilai memiliki nilai historis dengan umat Allah Perjanjian Lama karena Gereja menganggap diri sebagai Israel Baru, kelanjutan dari Israel yang lama.

Bertitik tolak dari Umat Allah dalam Perjanjian Lama, maka pengertian Umat Allah dalam paham Gereja sekarang ini juga mempunyai ciri khas sebagai berikut:
CIRI KHAS GEREJA SEBAGAI UMAT ALLAH :
  • Umat Allah merupakan suatu pilihan dan panggilan dari Allah sendiri. Umat Allah adalah bangsa terpanggil, bangsa terpilih.
  • Umat Allah dipanggil dan dipilih Allah untuk misi tertentu, yaitu menyelamatkan dunia.
  • Hubungan antara Allah dengan umat-Nya dimeteraikan oleh suatu perjanjian. Umat harus menaati perintah-perintah Allah dan Allah akan selalu menepati janji-janjiNya
  • Umat Allah selalu dalam perjalanan, melewati padang pasir, menuju Tanah Terjanji.

Gereja sungguh merupakan UMAT ALLAH YANG SEDANG DALAM PERJALANAN MENUJU RUMAH BAPA. Pengerian Gereja sebagai Umat Allah dimunculkan karena Gereja sudah menjadi sangat organisatoris dan struktur piramidal. Gereja pertama-tama bukan organisasi manusiawi, melainkan perwujudan karya Allah yang konkret (LG 9). Gereja adalah kelompok dinamis yang keluar dari sejarah Allah dengan manusia. Gereja mengalami dirinya sungguh erat dengan umat manusia serta sejarahnya (GS 1). Gereja muncul dan tumbuh dari sejarah keselamatan yang sudah dimulai dengan panggilan Abraham. Namun hal itu bukan berarti Gereja hanyalah lanjutan bangsa Israel saja. Kedatangan Kristus memberi arti yang baru kepada Umat Allah. Sekarang kita sudah kembali kepada Kitab Suci, di mana Gereja sungguh merupakan satu umat Allah yang sehati sejiwa, seperti yang ditunjukkan oleh Umat Perdana, yang imannya kita anut sampai sekarang (lih. Kis 2:41-47). Gereja harus merupakan seluruh umat, bukan hanya hierarki saja dan awam hanya seolah-olah merupakan tambahan, pendengar, dan pelaksana. Gereja hendaknya MENGUMAT. Gereja sebagai umat Allah merupakan persaudaraan/paguyuban keluarga dari orang-orang yang dipanggil oleh Sabda Allah, dikumpulkan bersama-sama menjadi Tubuh Kristus dan hidup dari Tubuh Kristus. Sebagai umat Allah, semua anggota Gereja mempunyai martabat yang sama, tetapi berbeda di dalam fungsi. Jadi Gereja sebagai umat Allah adalah paguyuban, relasi bersaudara, ikatan kesatuan Bapa, Putra, Roh Kudus, satu iman, satu kasih, satu pengharapan yang sama derajatnya.
2. Dasar dan Konsekuensi Gereja yang Mengumat
Setiap pribadi dipanggil untuk melibatkan diri secara penuh dalam kehidupan Umat Allah, karena:
  • Hidup mengumat pada dasarnya merupakan hakikat Gereja itu sendiri, sebab hakikat Gereja adalah persaudaraan cinta kasih seperti yang dicerminkan oleh hidup Umat Perdana (lih. Kis 2:41-47)
  • Dalam hidup mengumat banyak kharisma dan rupa-rupa karunia dapat dilihat, diterima, dan digunakan untuk kekayaan seluruh Gereja. Hidup Gereja selalu menampilkan segi organisatoris dan struktural dapat mematikan banyak kharisma dan karunia yang muncul dari bawah (lih. 1 Kor 12:7-10)
  • Dalam hidup mengumat, semua orang yang merasa menghayati martabat yang sama akan tanggungjawab secara aktif dalam fungsinya masing-masing untuk membangun Gereja dan memberi kesaksian kepada dunia (lih. Ef 4:11-13; 1Kor 12:12-18; 26-27).
 Gereja sungguh merupakan umat Allah, maka konsekuensi bagi Gereja itu sendiri:

a.         Konsekuensi bagi pimpinan Gereja (hierarki)
  • Menyadari fungsi pimpinan sebagai fungsi pelayanan, pimpinan bukan di atas umat, tetapi di tengah umat
  • Harus peka untuk melihat dan mendengar kharisma dan karunia-karunia yang tumbuh di kalangan umat.
b.         Konsekuensi bagi setiap anggota umat
  • Menyadari dan menghayati persatuannya dengan umat lain. Orang tidak dapat menghayati kehidupan imannya secara individu saja.
  • Aktif dalam kehidupan mengumat, menggunakan segala kharisma, karunia, dan fungsi yang dipercayakan kepadanya untuk kepentingan misi Gereja di tengah masyarakat. Semua bertanggungjawab dalam hidup dan misi Gereja.
 c.        Konsekuensi bagi hubungan awam dan hierarki

Paham Gereja sebagai umat Allah jelas membawa konsekuensi dalam hubungan antara hierarki dan kaum awam. Kaum awam bukan lagi menjadi pelengkap penyerta, melainkan patner hierarki. Awam dan hierarki memiliki martabat yang sama meskipun menjalankan fungsi yang berbeda-beda.

B.         Gereja Sebagai Persekutuan Terbuka
Konsili Vatikan II tidak mengabaikan apa yang ditekankan dalam Gereja prakonsili, namun mulai menyeimbangkan hal-hal yang menjadi keprihatinan Gereja sebagai persekutuan “Umat Allah”. Konstitusi dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium Bab II), umat Allah dilukiskan sebagai persekutuan Roh Kudus, sebagai persekutuan hidup, cinta kasih, dan kebenaran. Roh Kudus mendapat tempat utama yang menghidupi dan memimpin seluruh Gereja. Umat dilengkapi dengan upaya-upaya kesatuan yang kelihatan dan bersifat kemasyarakatan (LG 9).

1. Model Gereja
Ada dua hal yang ditekankan tentang paham gereja sebagai persekutuan terbuka, yakni segi persekutuannya dan keterbukaannya (persekutuan yang tidak tertutup)Munculnya paham Gereja sebagai persekutuan Umat Allah  disebabkan antara lain oleh paham dan penghayatan Gereja institusional yang berkembang sebelum Konsili Vatikan II, di mana lebih menekankan segi organisatoris dan struktural hierarki piramidal. 

a. Gereja institusional, sangat menonjol dalam hal:
  • Organisasi (lahiriah) yang berstruktur piramidal: tertata rapi
  • Kepemimpinan tertahbis atau hierarki: hierarki hamper identik dengan Gereja sendiri. Suatu institusi, apalagi institusi besar seperti Gereja, tentu membutuhkan pemimpin yang kuat
  • Hukum dan peraturan: untuk menata dan menjaga kelangsungan suatu institusi, apalgi yang berskala besar, tentu saja dibutuhkan hukum dan peraturan yang jelas
  • Sikap yang agak triumpalistik dan tertutup: gereja merasa sebagai satu-satunya penjamin kebenaran dan keselamatan. “Extra eclesiam nulla salus” (di luar Gereja tidak ada keselamatan) 


b. Gereja sebagai persekutuan umat, mau menonjolkan:
  • Hidup persaudaraan karena iman dan harapan yang sama: persaudaraan adalah persaudaraan kasih
  • Keikutsertaan semua umat dalam hidup bergereja: bukan saja hierarki dan biarawan/biarawati yang harus aktif dalam menggereja, tetapi seluruh umat
  • Hukum dan peraturan memang perlu, tetapi dibutuhkan pula peranan hati nurani dan tanggung jawab pribadi
  • Sikap miskin, sederhana, dan terbuka: rela berdialog dengan pihak mana pun, sebab Gereja yakin bahwa di luar Gereja Katolik terdapat pula kebenaran dan keselamatan

2.         Keanggotaan dalam Gereja sebagai Persekutuan Umat

Gereja adalah persekutuan Umat Allah untuk membangun Kerajaan Allah di bumi ini. Dalam persekutuan ini, semua anggota mempunyai martabat yang sama, namun dari segi fungsinya dapat berbeda.
a.         Golongan Hierarki
Hierarki dalah orang-orang yang ditahbiskan untuk tugas kegembalaan. Mereka menjadi pemimpin dan pemersatu umat, sebagai tanda efektif yang nyata dari otoritas Kristus sebagai kepala umat. Hierarki adalah tanda nyata bahwa umat tidak dapat membentuk dan membina diri atas kuasanya sendiri, tetapi tergantung dari Kristus. Otoritas Kristus atas gereja-Nya ditandai oleh hierarki:
Tugas-tugas hierarki adalah:
1) Hierarki menjalankan tugas kepemimpinan dalam komunikasi iman
Hierarki mempersatukan umat dalam iman, tidak hanya dengan petunjuk, nasehat, dan teladan, tetapi juga dengan kewibawaan dan kekuasaan kudus (LG 27)
2) Hierarki menalankan tugas gerejani, seperti merayakan sakramen, mewartakan sabda, dan sebagainya
b. Biarawan/wati
Seorang biarawan/wati adalah anggota umat yang dengan mengucapkan kaul kemiskinan, ketaatan, dan keperawanan (kemurnian) selalu bersatu dengan Kristus dan menerima pola nasib hidup Yesus Kristus secara radikal. Dengan demikian, mereka menjadi tanda nyata dari hidup dalam Kerajaan Allah. Jadi kaul ketaatan, kemiskinan, dan keperawanan adala sesuatu yang khas dalam kehidupan membiara. Kekhasan itu terletak dalam radikalisetnya menghayati kemiskinan, ketaatan, dan hidup wadat. Harta dan kekayaan, kuasa dan kedudukan, perkawinan dan hidup berkeluarga adalah sesuatu yang baik dan sangat bernilai dalam hidup ini.
Namun, semua nilai itu relative, tidak absolut, dan tidak abadi sifatnya.

Dengan menghayati kaul-kalul kebiaraan, para biarawan dan biarawati menjadi “tanda” bahwa:
  • Kekayaan, kekuasaan, dan hidup berkeluarga walapun sangat bernilai, tetapi tidaklah absolut dan abadi. Maka, kita tidak boleh mendewa-dewakannya
  • Kaul kebiaraan itu mengarahkan kita pada Kerajaan Allah dalam kepenuhannya kelak. Kita adalah umat musyafir
c.         Kaum Awam
Maksud dari “kaum awam” di sini adalah semua orang beriman Kristen yang tidak termasuk golongan tertahbis dan biarawan/wati. Mereka adalah orang-orang yang dengan pembabtisan menjadi anggota Gereja dan dengan caranya sendiri mengambil bagian dalam tugas Kristus sebagai imam, raja, dan nabi. Dengan demikian , mereka menjalankan perutusan seluruh Gereja dalam umat dan masyarakat. Bagi kaum awam, ciri keduniaan adalah khas dan khusus. Mereka mengemban kerasulan dalam tata dunia, baik dalam keluarga mapun masyarakat, entah sebagai ayah-ibu, sebagai petani, guru,pedagang, polisi, dan sebagainya. Kerasulan tata dunia atau kerasulan eksternal ini sangat penting, karena sangat strategis dalam rangka membangun Kerajaan Allah di dunia ini. Kerasulan tata dunia sama pentingnya dengan kerasulan ke dalam Gereja itu sendiri, walaupun sering kali kurang disadari. Dalam kerasulan tata dunia ini pula, kaum awam menghayati spritualitasnya yang khas. Spiritualitas awam sangat sederhana dapat diartikan sebagai cara seorang awam menjawab panggilan Allah dalam tugasnya sehari-hari di tengah dunia nyata dewasa ini.

3.         Gereja sebagai Persekutuan Umat dalam Terang Kitab Suci

Gereja sebagai persekutuan sangat jelas ditampakkan dalam kehidupan jemaat perdana (Gereja Purba). Kis 2:41-47 mengungkapkan ciri-ciri jemaat perdana, yaitu:
a.         Bertekun dalam pengajaran para rasul dan dalam persekutuan (ay. 42)
b.         Segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama (ay. 44)
c.         Dengan tekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap hari dalam
            Bait Allah (ay. 46 )
d.         Memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergiliran (ay. 46)
e.         Makan bersama-sama dengan gembira dan tulus hati (ay. 46)
Santo Lukas menegaskan lagi mengenai gambaran yang ideal terhadap komunitas/jemaat perdana dalam Kis 4:32-37. Kebersamaan dan menganggap semua dalah milik bersama mengungkapkan persahabatan yang idela pada waktu itu. Yang pokok adalah semua naggota jemaat dicukupi kebutuhannya dan tidak seorangpun menyimpan kekayaan bagi dirinya sendiri sementara yang lain berkekurangan. Cara hidup Jemaat Perdana tersebut tetap relevan bagi kita hingga sekarang. Mungkin saja kita tidak dapat menirunya secara harafiah, sebab situasi sosial-ekonomi kita sudah sangat berbeda. Namun semangat dasarnya dapat ditiru, yaitu kepekaan terhadap situasi social-ekonomis sesama saudara dalam persekutuan umat. Kebersamaan kita dalam hidup menggereja tidak boleh terbatas pada hal-hal rohani seperti doa, perayaan ibadah, kegiatan-kegiatan pembinaan iman, tetapi juga menyentuh kehidupan social, ekonomi, politik, dan budaya seperti yang digalakkan dalam Komunitas Basis Gereja.
4.         Gereja sebagai Persekutuan Umat Bersifat Terbuka

Gereja hadir di dunia bukan untuk dirinya sendiri. Gereja hadir dan berada dalam dunia. Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang jaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan dari murid-murid Kristus (Gereja). Sebab persekutuan murid-murid Kristus terdiri dari orang-orang yang dipersatukan di dalam Kristus, dibimbing oleh oh Kudus dalam peziarahan menuju Kerajaan Bapa. Semua murid Kristus telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka, persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat dalam hubungannya dengan umat manusia serta sejarahnya (GS 1)
Singkatnya Gereja harus menjadi Sakramen (tanda) keselamatan bagi dunia. Untuk itu, Gereja tidak lagi bersifat eksklusif (tertutup) tetapi inklusif (terbuka). Berikut ini disebutkan beberapa cara keterbukaan Gereja terhadap dunia:

a.         Gereja harus selalu siap untuk berdialog dengan agama dan budaya manapun juga
 Sesudah Konsili Vatikan II, Gereja sungguh menyadari bahwa dalam agama dan budaya lain, terdapat pula benih-benih kebenaran dan keselamatan. Maka dari itu, dibutuhkan dialog untuk salng mengenal, menghargai, dan memperkaya. Dialog pengalaman iman lintas agama dapat saling memperkaya Dialog kehidupan merupakan level dialog yang paling mendasar, sebab ciri kehidupan bersama sehari-hari dalam masyarakat majemuk yang paling umum dan mendasar adalah dialogis. Dalam kehidupan sehari-hari, aneka pengalaman menyusahkan dan menggembirakan dialami bersama-sama. Tiap-tiap orang dengan pengalaman hidupnya yang khas senantiasa tergerak untuk membagikan pengalamannya, saling membantu dalam hidup sehari-hari

b.         Kerja sama atau dialog karya
Gereja harus membangun kerja sama yang lebih intens dan mendalam dengan pengikut agama-agama lain. Sasaran yang hendak diraih harus jelas dan tegas, yakni pembangunan manusia dan peningkatan martabat manusia. Bentuk kerja sama semacam ini kerapkali berlangsung dalam kerangka kerja sama dengan organisasi-organisasi internasional, di mana organisasi-organisai Kristen dan para pengikut agama-agama lain bersama-sama menghadapi masalah-masalah dunia (bdk. DM 31)
c.        Berpartisipasi secara aktif dan mau bekerja sama dengan siap saja dalam membangun mayarakat yang adil, damai , dan sejahtera

Gereja membuka diri dan bekerja sama dengan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Gereja harus melaksanakan tugas misi dengan sikap yang positif dan aktif terhadap semua orang.
Bukan dunia yang ada bagi Gereja, melainkan Gereja berada bagi dunia. Hubungan di antara Gereja dan dunia tidak bisa terpisah.
Perhatian Gereja terhadap dunia bisa dibagikan dengan empat unsur, yaitu:
1)         Dorongan bagi perdamaian dunia
2)         Penjelmaan keadilan bagi orang-orang dan negara-negara miskin
3)         Perhatian tentang krisis ekologi
4)         Demokrasi sebagai partisipasi masa
Gereja harus mempunyai empat perhatian tersebut dengan berjuang, berusaha, dan berdoa untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Usaha-usaha tersebut bukan saja bagi dirinya sendiri, tetapi juga secara global dan universal. Gereja harus belajar dari berbagai segi secara global untuk mencari suatu model yang ideal dengan tujuan untuk mencapai menjadikan dunia yang saling tolong-menolong dan hidup bersama.

Comments

Popular posts from this blog

Sifat Sifat Gereja

Panggilan Hidup