Gereja sebagai Umat Allah dan Gereja sebagai Persekutuan yang Terbuka
Arti dan makna Gereja
A. Gereja Sebagai Umat Allah
Gereja sungguh merupakan UMAT ALLAH YANG SEDANG DALAM PERJALANAN MENUJU RUMAH BAPA. Pengerian Gereja sebagai Umat Allah dimunculkan karena Gereja sudah menjadi sangat organisatoris dan struktur piramidal. Gereja pertama-tama bukan organisasi manusiawi, melainkan perwujudan karya Allah yang konkret (LG 9). Gereja adalah kelompok dinamis yang keluar dari sejarah Allah dengan manusia. Gereja mengalami dirinya sungguh erat dengan umat manusia serta sejarahnya (GS 1). Gereja muncul dan tumbuh dari sejarah keselamatan yang sudah dimulai dengan panggilan Abraham. Namun hal itu bukan berarti Gereja hanyalah lanjutan bangsa Israel saja. Kedatangan Kristus memberi arti yang baru kepada Umat Allah. Sekarang kita sudah kembali kepada Kitab Suci, di mana Gereja sungguh merupakan satu umat Allah yang sehati sejiwa, seperti yang ditunjukkan oleh Umat Perdana, yang imannya kita anut sampai sekarang (lih. Kis 2:41-47). Gereja harus merupakan seluruh umat, bukan hanya hierarki saja dan awam hanya seolah-olah merupakan tambahan, pendengar, dan pelaksana. Gereja hendaknya MENGUMAT. Gereja sebagai umat Allah merupakan persaudaraan/paguyuban keluarga dari orang-orang yang dipanggil oleh Sabda Allah, dikumpulkan bersama-sama menjadi Tubuh Kristus dan hidup dari Tubuh Kristus. Sebagai umat Allah, semua anggota Gereja mempunyai martabat yang sama, tetapi berbeda di dalam fungsi. Jadi Gereja sebagai umat Allah adalah paguyuban, relasi bersaudara, ikatan kesatuan Bapa, Putra, Roh Kudus, satu iman, satu kasih, satu pengharapan yang sama derajatnya.
a. Konsekuensi bagi pimpinan Gereja (hierarki)
Paham Gereja sebagai umat Allah jelas membawa konsekuensi dalam hubungan antara hierarki dan kaum awam. Kaum awam bukan lagi menjadi pelengkap penyerta, melainkan patner hierarki. Awam dan hierarki memiliki martabat yang sama meskipun menjalankan fungsi yang berbeda-beda.
B. Gereja Sebagai Persekutuan Terbuka
a. Gereja institusional, sangat menonjol dalam hal:
Gereja adalah persekutuan Umat Allah untuk membangun Kerajaan Allah di bumi ini. Dalam persekutuan ini, semua anggota mempunyai martabat yang sama, namun dari segi fungsinya dapat berbeda.
Gereja sebagai persekutuan sangat jelas ditampakkan dalam kehidupan jemaat perdana (Gereja Purba). Kis 2:41-47 mengungkapkan ciri-ciri jemaat perdana, yaitu:
Gereja hadir di dunia bukan untuk dirinya sendiri. Gereja hadir dan berada dalam dunia. Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang jaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan dari murid-murid Kristus (Gereja). Sebab persekutuan murid-murid Kristus terdiri dari orang-orang yang dipersatukan di dalam Kristus, dibimbing oleh oh Kudus dalam peziarahan menuju Kerajaan Bapa. Semua murid Kristus telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka, persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat dalam hubungannya dengan umat manusia serta sejarahnya (GS 1)
Singkatnya Gereja harus menjadi Sakramen (tanda) keselamatan bagi dunia. Untuk itu, Gereja tidak lagi bersifat eksklusif (tertutup) tetapi inklusif (terbuka). Berikut ini disebutkan beberapa cara keterbukaan Gereja terhadap dunia:
a. Gereja harus selalu siap untuk berdialog dengan agama dan budaya manapun juga
Gereja membuka diri dan bekerja sama dengan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Gereja harus melaksanakan tugas misi dengan sikap yang positif dan aktif terhadap semua orang. Bukan dunia yang ada bagi Gereja, melainkan Gereja berada bagi dunia. Hubungan di antara Gereja dan dunia tidak bisa terpisah.
Gereja
harus mempunyai empat perhatian tersebut dengan berjuang, berusaha, dan berdoa
untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Usaha-usaha tersebut bukan
saja bagi dirinya sendiri, tetapi juga secara global dan universal. Gereja
harus belajar dari berbagai segi secara global untuk mencari suatu model
yang ideal dengan tujuan untuk mencapai menjadikan dunia yang saling
tolong-menolong dan hidup bersama.
Kata
“Gereja” berasal dari kata “igreja” (bahasa portugis) dibawa oleh para
misionaris Portugis ke Indonesia. Kata tersebut adalah ejaan Portugis untuk kata Latin “ecclesia”.
Ternyata kata tersebut memungut dari bahasa Yunani “ekklèsia” yang berarti
“kumpulan”, atau “pertemuan”, “rapat”. Namun Gereja atau “ekklèsia” bukan
sembarang kumpulan, melainkan kelompok orang yang sangat khusus. Kata Yunani
“ekklèsia” berasal dari kata yang berarti “ memanggil” (ex=keluar; klesia dari
kata kaleo=memanggil). Jadi artinya adalah kumpulan orang yang dipanggil keluar
(dari dunia ini). Gereja dalah umat yang dipanggil Tuhan. Arti Gereja bagi umat
Kristen adalah persekutuan orang yang beriman dalam Kristus, jadi pertama-tama
bukan berarti suatu gedung. Sepanjang sejarah Gereja itu
sendiri, dari zaman ke jaman, Gereja “diartikan” dan dihayati secara kaya,
dengan aspek dan penekanan tertentu sesuai dengan zaman tertentu. Ia begitu
kaya, sehingga ia dapat muncul dan memberi arti (makna) pada posisi secara
tepat di segala waktu dan tempat. Paham-paham Gereja yang mucul di antaranya
adalah Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus, Bait Allah, Misteri dan Sakramen,
Persekutuan para Kudus, “Communio”, dan Umat Allah.
Pada abad ini, lebih dari sebelum-sebelumnya, Gereja
sungguh menyadari kehadiran dan peranannya untuk dunia dewasa ini. Gereja
didirikan oleh Yesus Kristus untuk menyelamatkan dunia. Gereja itu sendiri
terbentuk 50 hari setelah kebangkitan Yesus Kristus pada hari Pentakosta, yaitu
ketika Roh Kudus yang dijanjikan Allah diberikan kepada semua yang percaya pada
Yesus Kristus (turunnya Roh Kudus atas para rasul). Misi Gereja dewasa ini
adalah sesuai dengan rencana Allah sejak keabadian, yang sekrang mulai sedikit
demi sedikit tersingkap dan mulai memantapkan karya penyelamatannya di tengah
masyarakat luas. Pandangan baru yang muncul bersama Konsili Vatikan II
ialah pandangan Gereja sebagai Umat Allah dan Sakramen Keselamatan. Eklesiologi
prakonsili Vatikan II yang lebih berciri hierarkis piramidal bergeser ke arah
Gereja Umat Allah, di mana semua anggota Gereja terlibat aktif melanjutkan misi
dan karya Yesus.
Pandangan Gereja sebagai umat Allah membawa gagasan baru,
antara lain:
- Memperlihatkan sifat historis Gereja yang hidup “inter tempora”, yakni Gereja dilihat menurut perkembangannya dalam sejarah keselamatan; hal ini berarti menurut perkembangan di bawah dorongan Roh Kudus, segi organisatoris Gereja tidak terlalu ditekankan lagi, tetapi sebagai gantiya ditekankan segi kharismatisnya. Gereja berkembang “dari bawah”, dari kalangan umat sendiri.
- Menempatkan hierarki dalam keseluruhan Gereja sebagai fungsi, sehingga sifat pengabdian hierarki menjadi lebih kentara. Hierarki jelas mempunyai fungsi pelayanan. Hierarki tidak ditempatkan di atas umat, tetapi di dalam umat.
- Memungkinkan pluriformitas (mempunyai bentuk yang banyak) dalam hidup Gereja, termasuk pluriformitas dalam corak hidup, ciri-ciri dan sifat pelayanan dalam Gereja.
A. Gereja Sebagai Umat Allah
1. Arti dan Makna Gereja sebagai Umat Allah
Istilah Umat Allah sebenarnya
merupakan istilah yang sudah sangat tua. Istilah itu sudah dipakai sejak
dalam Perjanjian Lama (terdapat dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, misalnya
dalam Kel. 6: 6; 33: 13; Yeh. 36: 28; Ul. 7: 6, 26: 15). Istilah tersebut
kemudian dihidupkan lagi oleh Konsili Vatikan II sebagai paham yang baru. Paham
Gereja sebagai umat Allah dianggap sebagai paham yang cocok atau relevan dengan
tuntutan dan perkembangan zaman. Paham ini dinilai memiliki nilai historis
dengan umat Allah Perjanjian Lama karena Gereja menganggap diri sebagai Israel
Baru, kelanjutan dari Israel yang lama.
Bertitik tolak dari Umat Allah dalam Perjanjian Lama, maka pengertian Umat Allah dalam paham Gereja sekarang ini juga mempunyai ciri khas sebagai berikut:
Bertitik tolak dari Umat Allah dalam Perjanjian Lama, maka pengertian Umat Allah dalam paham Gereja sekarang ini juga mempunyai ciri khas sebagai berikut:
CIRI KHAS
GEREJA SEBAGAI UMAT ALLAH :
- Umat Allah merupakan suatu pilihan dan panggilan dari Allah sendiri. Umat Allah adalah bangsa terpanggil, bangsa terpilih.
- Umat Allah dipanggil dan dipilih Allah untuk misi tertentu, yaitu menyelamatkan dunia.
- Hubungan antara Allah dengan umat-Nya dimeteraikan oleh suatu perjanjian. Umat harus menaati perintah-perintah Allah dan Allah akan selalu menepati janji-janjiNya
- Umat Allah selalu dalam perjalanan, melewati padang pasir, menuju Tanah Terjanji.
Gereja sungguh merupakan UMAT ALLAH YANG SEDANG DALAM PERJALANAN MENUJU RUMAH BAPA. Pengerian Gereja sebagai Umat Allah dimunculkan karena Gereja sudah menjadi sangat organisatoris dan struktur piramidal. Gereja pertama-tama bukan organisasi manusiawi, melainkan perwujudan karya Allah yang konkret (LG 9). Gereja adalah kelompok dinamis yang keluar dari sejarah Allah dengan manusia. Gereja mengalami dirinya sungguh erat dengan umat manusia serta sejarahnya (GS 1). Gereja muncul dan tumbuh dari sejarah keselamatan yang sudah dimulai dengan panggilan Abraham. Namun hal itu bukan berarti Gereja hanyalah lanjutan bangsa Israel saja. Kedatangan Kristus memberi arti yang baru kepada Umat Allah. Sekarang kita sudah kembali kepada Kitab Suci, di mana Gereja sungguh merupakan satu umat Allah yang sehati sejiwa, seperti yang ditunjukkan oleh Umat Perdana, yang imannya kita anut sampai sekarang (lih. Kis 2:41-47). Gereja harus merupakan seluruh umat, bukan hanya hierarki saja dan awam hanya seolah-olah merupakan tambahan, pendengar, dan pelaksana. Gereja hendaknya MENGUMAT. Gereja sebagai umat Allah merupakan persaudaraan/paguyuban keluarga dari orang-orang yang dipanggil oleh Sabda Allah, dikumpulkan bersama-sama menjadi Tubuh Kristus dan hidup dari Tubuh Kristus. Sebagai umat Allah, semua anggota Gereja mempunyai martabat yang sama, tetapi berbeda di dalam fungsi. Jadi Gereja sebagai umat Allah adalah paguyuban, relasi bersaudara, ikatan kesatuan Bapa, Putra, Roh Kudus, satu iman, satu kasih, satu pengharapan yang sama derajatnya.
2.
Dasar dan Konsekuensi Gereja yang Mengumat
Setiap pribadi dipanggil untuk melibatkan diri secara penuh dalam kehidupan Umat Allah, karena:
Setiap pribadi dipanggil untuk melibatkan diri secara penuh dalam kehidupan Umat Allah, karena:
- Hidup mengumat pada dasarnya merupakan hakikat Gereja itu sendiri, sebab hakikat Gereja adalah persaudaraan cinta kasih seperti yang dicerminkan oleh hidup Umat Perdana (lih. Kis 2:41-47)
- Dalam hidup mengumat banyak kharisma dan rupa-rupa karunia dapat dilihat, diterima, dan digunakan untuk kekayaan seluruh Gereja. Hidup Gereja selalu menampilkan segi organisatoris dan struktural dapat mematikan banyak kharisma dan karunia yang muncul dari bawah (lih. 1 Kor 12:7-10)
- Dalam hidup mengumat, semua orang yang merasa menghayati martabat yang sama akan tanggungjawab secara aktif dalam fungsinya masing-masing untuk membangun Gereja dan memberi kesaksian kepada dunia (lih. Ef 4:11-13; 1Kor 12:12-18; 26-27).
Gereja sungguh merupakan umat Allah, maka konsekuensi bagi Gereja itu sendiri:
a. Konsekuensi bagi pimpinan Gereja (hierarki)
- Menyadari fungsi pimpinan sebagai fungsi pelayanan, pimpinan bukan di atas umat, tetapi di tengah umat
- Harus peka untuk melihat dan mendengar kharisma dan karunia-karunia yang tumbuh di kalangan umat.
b.
Konsekuensi bagi setiap anggota
umat
- Menyadari dan menghayati persatuannya dengan umat lain. Orang tidak dapat menghayati kehidupan imannya secara individu saja.
- Aktif dalam kehidupan mengumat, menggunakan segala kharisma, karunia, dan fungsi yang dipercayakan kepadanya untuk kepentingan misi Gereja di tengah masyarakat. Semua bertanggungjawab dalam hidup dan misi Gereja.
c. Konsekuensi
bagi hubungan awam dan hierarki
Paham Gereja sebagai umat Allah jelas membawa konsekuensi dalam hubungan antara hierarki dan kaum awam. Kaum awam bukan lagi menjadi pelengkap penyerta, melainkan patner hierarki. Awam dan hierarki memiliki martabat yang sama meskipun menjalankan fungsi yang berbeda-beda.
B. Gereja Sebagai Persekutuan Terbuka
Konsili
Vatikan II tidak mengabaikan apa yang ditekankan dalam Gereja prakonsili, namun
mulai menyeimbangkan hal-hal yang menjadi keprihatinan Gereja sebagai
persekutuan “Umat Allah”. Konstitusi dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium Bab
II), umat Allah dilukiskan sebagai persekutuan Roh Kudus, sebagai persekutuan
hidup, cinta kasih, dan kebenaran. Roh Kudus mendapat tempat utama yang
menghidupi dan memimpin seluruh Gereja. Umat dilengkapi dengan upaya-upaya
kesatuan yang kelihatan dan bersifat kemasyarakatan (LG 9).
1. Model Gereja
Ada
dua hal yang ditekankan tentang paham gereja sebagai persekutuan terbuka, yakni
segi persekutuannya dan keterbukaannya (persekutuan yang tidak tertutup)Munculnya
paham Gereja sebagai persekutuan Umat Allah disebabkan antara lain oleh paham dan
penghayatan Gereja institusional yang berkembang sebelum Konsili Vatikan II, di
mana lebih menekankan segi organisatoris dan struktural hierarki piramidal.
a. Gereja institusional, sangat menonjol dalam hal:
- Organisasi (lahiriah) yang berstruktur piramidal: tertata rapi
- Kepemimpinan tertahbis atau hierarki: hierarki hamper identik dengan Gereja sendiri. Suatu institusi, apalagi institusi besar seperti Gereja, tentu membutuhkan pemimpin yang kuat
- Hukum dan peraturan: untuk menata dan menjaga kelangsungan suatu institusi, apalgi yang berskala besar, tentu saja dibutuhkan hukum dan peraturan yang jelas
- Sikap yang agak triumpalistik dan tertutup: gereja merasa sebagai satu-satunya penjamin kebenaran dan keselamatan. “Extra eclesiam nulla salus” (di luar Gereja tidak ada keselamatan)
b. Gereja sebagai persekutuan umat, mau menonjolkan:
- Hidup persaudaraan karena iman dan harapan yang sama: persaudaraan adalah persaudaraan kasih
- Keikutsertaan semua umat dalam hidup bergereja: bukan saja hierarki dan biarawan/biarawati yang harus aktif dalam menggereja, tetapi seluruh umat
- Hukum dan peraturan memang perlu, tetapi dibutuhkan pula peranan hati nurani dan tanggung jawab pribadi
- Sikap miskin, sederhana, dan terbuka: rela berdialog dengan pihak mana pun, sebab Gereja yakin bahwa di luar Gereja Katolik terdapat pula kebenaran dan keselamatan
Gereja adalah persekutuan Umat Allah untuk membangun Kerajaan Allah di bumi ini. Dalam persekutuan ini, semua anggota mempunyai martabat yang sama, namun dari segi fungsinya dapat berbeda.
a. Golongan Hierarki
Hierarki dalah orang-orang yang
ditahbiskan untuk tugas kegembalaan. Mereka menjadi pemimpin dan
pemersatu umat, sebagai tanda efektif yang nyata dari otoritas Kristus sebagai
kepala umat. Hierarki adalah tanda nyata bahwa umat tidak dapat membentuk dan
membina diri atas kuasanya sendiri, tetapi tergantung dari Kristus. Otoritas
Kristus atas gereja-Nya ditandai oleh hierarki:
Tugas-tugas hierarki adalah:
1) Hierarki menjalankan tugas
kepemimpinan dalam komunikasi iman
Hierarki mempersatukan umat dalam iman, tidak hanya dengan petunjuk, nasehat, dan teladan, tetapi juga dengan kewibawaan dan kekuasaan kudus (LG 27)
Hierarki mempersatukan umat dalam iman, tidak hanya dengan petunjuk, nasehat, dan teladan, tetapi juga dengan kewibawaan dan kekuasaan kudus (LG 27)
2) Hierarki menalankan tugas
gerejani, seperti merayakan sakramen, mewartakan sabda, dan sebagainya
b. Biarawan/wati
Seorang biarawan/wati adalah
anggota umat yang dengan mengucapkan kaul kemiskinan, ketaatan, dan keperawanan
(kemurnian) selalu bersatu dengan Kristus dan menerima pola nasib hidup Yesus
Kristus secara radikal. Dengan demikian, mereka menjadi tanda nyata dari hidup
dalam Kerajaan Allah. Jadi kaul ketaatan, kemiskinan, dan keperawanan adala
sesuatu yang khas dalam kehidupan membiara. Kekhasan itu terletak dalam
radikalisetnya menghayati kemiskinan, ketaatan, dan hidup wadat. Harta dan
kekayaan, kuasa dan kedudukan, perkawinan dan hidup berkeluarga adalah sesuatu
yang baik dan sangat bernilai dalam hidup ini.
Namun, semua nilai itu relative,
tidak absolut, dan tidak abadi sifatnya.
Dengan menghayati kaul-kalul kebiaraan, para biarawan dan biarawati menjadi “tanda” bahwa:
Dengan menghayati kaul-kalul kebiaraan, para biarawan dan biarawati menjadi “tanda” bahwa:
- Kekayaan, kekuasaan, dan hidup berkeluarga walapun sangat bernilai, tetapi tidaklah absolut dan abadi. Maka, kita tidak boleh mendewa-dewakannya
- Kaul kebiaraan itu mengarahkan kita pada Kerajaan Allah dalam kepenuhannya kelak. Kita adalah umat musyafir
c.
Kaum Awam
Maksud
dari “kaum awam” di sini adalah semua orang beriman Kristen yang tidak termasuk
golongan tertahbis dan biarawan/wati. Mereka adalah orang-orang yang dengan
pembabtisan menjadi anggota Gereja dan dengan caranya sendiri mengambil bagian
dalam tugas Kristus sebagai imam, raja, dan nabi. Dengan demikian , mereka
menjalankan perutusan seluruh Gereja dalam umat dan masyarakat. Bagi kaum awam,
ciri keduniaan adalah khas dan khusus. Mereka mengemban kerasulan dalam tata
dunia, baik dalam keluarga mapun masyarakat, entah sebagai ayah-ibu, sebagai
petani, guru,pedagang, polisi, dan sebagainya. Kerasulan tata dunia atau
kerasulan eksternal ini sangat penting, karena sangat strategis dalam rangka
membangun Kerajaan Allah di dunia ini. Kerasulan tata dunia sama pentingnya
dengan kerasulan ke dalam Gereja itu sendiri, walaupun sering kali kurang
disadari. Dalam kerasulan tata dunia ini pula, kaum awam menghayati
spritualitasnya yang khas. Spiritualitas awam sangat sederhana dapat diartikan
sebagai cara seorang awam menjawab panggilan Allah dalam tugasnya sehari-hari
di tengah dunia nyata dewasa ini.
3. Gereja sebagai Persekutuan Umat dalam Terang Kitab Suci
3. Gereja sebagai Persekutuan Umat dalam Terang Kitab Suci
Gereja sebagai persekutuan sangat jelas ditampakkan dalam kehidupan jemaat perdana (Gereja Purba). Kis 2:41-47 mengungkapkan ciri-ciri jemaat perdana, yaitu:
a.
Bertekun dalam pengajaran para
rasul dan dalam persekutuan (ay. 42)
b.
Segala kepunyaan mereka adalah
kepunyaan bersama (ay. 44)
c. Dengan tekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap hari dalam
c. Dengan tekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap hari dalam
Bait Allah (ay. 46 )
d.
Memecahkan roti di rumah
masing-masing secara bergiliran (ay. 46)
e. Makan bersama-sama dengan gembira dan tulus hati (ay. 46)
e. Makan bersama-sama dengan gembira dan tulus hati (ay. 46)
Santo Lukas menegaskan lagi mengenai gambaran yang ideal terhadap
komunitas/jemaat perdana dalam Kis 4:32-37. Kebersamaan dan menganggap semua
dalah milik bersama mengungkapkan persahabatan yang idela pada waktu itu. Yang
pokok adalah semua naggota jemaat dicukupi kebutuhannya dan tidak seorangpun
menyimpan kekayaan bagi dirinya sendiri sementara yang lain berkekurangan. Cara
hidup Jemaat Perdana tersebut tetap relevan bagi kita hingga sekarang. Mungkin
saja kita tidak dapat menirunya secara harafiah, sebab situasi sosial-ekonomi
kita sudah sangat berbeda. Namun semangat dasarnya dapat ditiru, yaitu kepekaan
terhadap situasi social-ekonomis sesama saudara dalam persekutuan umat.
Kebersamaan kita dalam hidup menggereja tidak boleh terbatas pada hal-hal
rohani seperti doa, perayaan ibadah, kegiatan-kegiatan pembinaan iman, tetapi
juga menyentuh kehidupan social, ekonomi, politik, dan budaya seperti yang
digalakkan dalam Komunitas Basis Gereja.
4.
Gereja sebagai Persekutuan Umat
Bersifat Terbuka
Gereja hadir di dunia bukan untuk dirinya sendiri. Gereja hadir dan berada dalam dunia. Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang jaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan dari murid-murid Kristus (Gereja). Sebab persekutuan murid-murid Kristus terdiri dari orang-orang yang dipersatukan di dalam Kristus, dibimbing oleh oh Kudus dalam peziarahan menuju Kerajaan Bapa. Semua murid Kristus telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka, persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat dalam hubungannya dengan umat manusia serta sejarahnya (GS 1)
Singkatnya Gereja harus menjadi Sakramen (tanda) keselamatan bagi dunia. Untuk itu, Gereja tidak lagi bersifat eksklusif (tertutup) tetapi inklusif (terbuka). Berikut ini disebutkan beberapa cara keterbukaan Gereja terhadap dunia:
a. Gereja harus selalu siap untuk berdialog dengan agama dan budaya manapun juga
Sesudah Konsili Vatikan II,
Gereja sungguh menyadari bahwa dalam agama dan budaya lain, terdapat pula
benih-benih kebenaran dan keselamatan. Maka dari itu, dibutuhkan dialog
untuk salng mengenal, menghargai, dan memperkaya. Dialog pengalaman iman lintas
agama dapat saling memperkaya Dialog kehidupan merupakan level dialog yang
paling mendasar, sebab ciri kehidupan bersama sehari-hari dalam masyarakat
majemuk yang paling umum dan mendasar adalah dialogis. Dalam kehidupan
sehari-hari, aneka pengalaman menyusahkan dan menggembirakan dialami
bersama-sama. Tiap-tiap orang dengan pengalaman hidupnya yang khas senantiasa
tergerak untuk membagikan pengalamannya, saling membantu dalam hidup
sehari-hari
b. Kerja sama atau dialog karya
b. Kerja sama atau dialog karya
Gereja harus membangun kerja sama
yang lebih intens dan mendalam dengan pengikut agama-agama lain. Sasaran yang
hendak diraih harus jelas dan tegas, yakni pembangunan manusia dan peningkatan
martabat manusia. Bentuk kerja sama semacam ini kerapkali berlangsung dalam
kerangka kerja sama dengan organisasi-organisasi internasional, di mana
organisasi-organisai Kristen dan para pengikut agama-agama lain bersama-sama
menghadapi masalah-masalah dunia (bdk. DM 31)
c. Berpartisipasi secara aktif dan mau bekerja sama dengan siap
saja dalam membangun mayarakat yang adil, damai , dan sejahtera
Gereja membuka diri dan bekerja sama dengan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Gereja harus melaksanakan tugas misi dengan sikap yang positif dan aktif terhadap semua orang. Bukan dunia yang ada bagi Gereja, melainkan Gereja berada bagi dunia. Hubungan di antara Gereja dan dunia tidak bisa terpisah.
Perhatian Gereja terhadap dunia
bisa dibagikan dengan empat unsur, yaitu:
1) Dorongan bagi perdamaian dunia
2) Penjelmaan keadilan bagi orang-orang dan negara-negara miskin
3) Perhatian tentang krisis ekologi
3) Perhatian tentang krisis ekologi
4) Demokrasi sebagai partisipasi masa
Comments
Post a Comment